Nih Al-Farabi (870-950)
Al-Farabi (870-950) |
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan mempunyai kecerdasan istimewa dan talenta besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi berguru al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda berguru ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan hingga umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana ketika itu Harran merupakan sentra kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian berguru filsafat dari Filsuf Nasrani populer yang berjulukan Yuhana bin Jilad.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala tempat (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Biografi
Al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang lebih banyak didominasi mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi mendapatkan pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini mempunyai kecerdasan istimewa dan talenta besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi berguru al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menuntaskan studi dasarnya,
al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan sentra intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada ketika al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali berguru wacana musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas seruan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum beliau karam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu beliau menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami kecerdikan Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi yakni Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar kecerdikan Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika berguru kitab-kitab Aristoteles tersebut alasannya kitab tersebut gres diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun sehabis al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan bisa menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya wacana kecerdikan Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat bisa mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada simpulan tahun 942, ia pindah ke Damaskus alasannya situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari dipakai untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada balasannya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi menerima proteksi dari putra mahkota penguasa gres Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi alasannya kemampuannya dalam bidang filsafat, talenta musiknya serta penguasaannya atas aneka macam bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.
Kontribusi
Ilustrasi dari Kitab al-Musiqa al-Kabir. Gambaran dari alat musik, disebut shahrud |
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" sehabis Aristoteles, alasannya kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
Dia yakni filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Al-Farabi hidup pada tempat otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau alasannya ketiadaan kestabilan politik.
Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para jago Filsafat Yunani ibarat Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan inspirasi atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk membuat sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
Buah Pemikiran
Karya - Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi sanggup ditinjau menjdi 6 bab yakni: Logika, Ilmu-ilmu Matematika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik dan kenegaraan, Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
Karyanya yang paling populer yakni Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan korelasi antara rejim yang paling baik berdasarkan pemahaman Plato dengan aturan Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi pemikiran Imamah dalam Syi'ah.
Pemikiran wacana Asal-usul Negara dan Warga Negara
Menurut Al-Farabi insan merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh alasannya insan tidak sanggup hidup sendiri dan selalu membutuhkan pertolongan orang lain, maka insan menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada balasannya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling sanggup bangun diatas kaki sendiri dan paling bisa memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta bisa mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah sanggup bangun diatas kaki sendiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, berdasarkan al-Farabi, yakni Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar.
Keberadaan warga negara sangat penting alasannya warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak menentukan seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling tepat di antara mereka.
Negara Utama dianalogikan ibarat badan insan yang sehat dan utama, alasannya secara alami, pengaturan organ-organ dalam badan insan bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga pembagian terstruktur mengenai utama:
- Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok alasannya jantung yakni organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
- Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bab peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bab di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, ibarat : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
- Organ bab ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bab atasnya.
Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
- Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya mencicipi kebahagiaan.
- Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
- Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laris mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
- Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk negara ini mempunyai pemikiran dan pendapat ibarat penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
- Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya menerima wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Pemikirannya Tentang Pemimpin
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bab yang paling penting dan paling tepat di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin yakni seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan alasannya sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun jika kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bab dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh alasannya itu, Negara sanggup berada diambang kehancuran.
Sumber:
Al-Farabi
Berbagai sumber